RAJAWALI Kembali Kepung Lapas Kelas II Pamekasan  “Dialog Belum Usai, KPLP Pilih Mundur

Jatim, investigasihukumkriminal.com – Aksi demo jilid II gabungan Rangkulan Jajaran Wartawan dan Lembaga Indonesia (RAJAWALI) dan  LSM Forum Membangun Desa (Formades) kembali mengguncang gerbang Lapas Kelas IIA Pamekasan Jawa Timur. Massa yang datang dengan tuntutan jelas — agar praktik pembiaran penggunaan handphone ilegal dan dugaan peredaran narkoba di dalam lapas segera dihentikan — dibuat geram setelah Faisol, Kepala Pengamanan Lapas (KPLP), memilih mundur di tengah-tengah dialog yang belum tuntas, Kamis (31/07/25)

KPLP dinilai telah gagal secara etik, dan lebih serius lagi—telah menciderai prinsip-prinsip hukum tata negara.
Keputusan sepihak untuk mundur dari dialog terbuka dengan masyarakat sipil bukan hanya aib kelembagaan, tetapi juga pelanggaran terhadap kewajiban hukum publik sebagaimana diatur dalam Konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Pelarian dari Dialog adalah Pelanggaran terhadap Prinsip Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Dalam kerangka ini, setiap tindakan pejabat dan institusi negara wajib tunduk pada:

1. Asas keterbukaan (transparansi)
2. Asas akuntabilitas publik
3. Asas partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara

“Dengan memilih angkat kaki dari ruang dialog, KPLP melanggar hak publik untuk tahu (right to know) sebagaimana dilindungi oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik” Ungkap Sujatmiko Ketua DPW RAJAWALI Jawa Timur
Lebih dari itu, tindakan tersebut berpotensi melanggar:

Pasal 28C dan 28F UUD 1945, yang menjamin hak warga negara untuk menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi.

UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, khususnya Pasal 4 dan Pasal 15 yang mewajibkan partisipasi masyarakat dalam evaluasi penyelenggaraan layanan publik.
Ketika Negara Abai, Maka Hukum Menjadi Simbol Tanpa Substansi

Aksi massa Jilid II tidak boleh dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai pengingat keras bahwa negara bukan pemilik tunggal kebenaran. Ketika ruang klarifikasi dan tanggung jawab publik ditutup oleh lembaga negara sendiri, maka:

“Yang tumbuh bukan hukum, tetapi defisit kepercayaan. Yang lahir bukan keadilan, tetapi perlawanan sipil” Sambung Sujatmiko

DPW RAJAWALI menilai bahwa mundurnya KPLP dari forum dialog adalah bentuk nyata abuse of power pasif, di mana kekuasaan digunakan untuk menghindar dari pertanggungjawaban hukum.

KPLP Gagal Jalankan Mandat Hukum dan Etik
Secara normatif, lembaga negara dibentuk berdasarkan asas fungsionalitas publik, bukan kenyamanan birokrat. Jika sebuah institusi negara:

Tidak sanggup mendengar kritik rakyat
Tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar
Tidak bersedia hadir dalam forum keterbukaan
Maka ia telah kehilangan alasan keberadaannya dalam sistem demokrasi.
KPLP hari ini bukan simbol pelayanan, tapi simbol ketakutan terhadap transparansi.

DPW RAJAWALI menyerukan:

1. Evaluasi menyeluruh terhadap integritas dan kinerja KPLP.
2. Audit publik atas anggaran, kebijakan, dan respons pelayanan lembaga tersebut.
3. Desakan reformasi struktural kelembagaan agar KPLP tidak menjadi “zona impunitas administratif”.

> Dalam negara hukum, kepercayaan publik bukan diraih dengan penghindaran, tetapi dengan kehadiran.
Dan jika institusi negara tidak bisa berdiri di hadapan rakyat, maka rakyat berhak mempertanyakan keabsahannya.

Massa mendesak agar Kemenkumham dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) mengevaluasi kinerja KPLP Faisol, yang dinilai tidak mampu menjalankan fungsi pengawasan dan pengamanan secara maksimal, terutama di tengah dugaan kuat praktik-praktik ilegal yang terjadi di dalam.

Aksi ditutup dengan peringatan keras: jika dalam waktu dekat tidak ada tindakan konkret dari pimpinan lapas maupun kementerian, massa akan kembali dengan jumlah yang lebih besar.


Sumber : DPW RAJAWALI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *