investigasihukumkriminal – Di sejumlah daerah, praktik pencairan bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) tengah menjadi sorotan. Para pendamping PKH dilaporkan secara kolektif mengumpulkan kartu bansos merah milik Keluarga Penerima Manfaat (KPM) untuk melakukan pencairan dana secara terpusat. Tujuannya disebutkan demi efisiensi dan kemudahan proses, namun praktik ini memunculkan pertanyaan etis dan potensi penyimpangan.
Dalam skema ini, pendamping PKH mengumpulkan kartu-kartu bansos dari para anggota KPM sebelum jadwal pencairan. Mereka kemudian mendatangi bank penyalur untuk mencairkan dana secara serentak. Setelah dana dicairkan, uang tunai diserahkan langsung kepada masing-masing KPM tanpa mereka perlu datang ke bank.
Pendamping berdalih bahwa cara ini lebih praktis dan hemat waktu, terutama bagi KPM yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan mobilitas. Namun, karena KPM tidak menyaksikan langsung proses pencairan, transparansi menjadi isu krusial.
Yang lebih mengundang perhatian adalah kebiasaan sebagian KPM memberikan “uang terima kasih” sebesar Rp50.000 kepada pendamping setelah menerima dana bansos. Meski tidak bersifat wajib, praktik ini telah menjadi semacam tradisi yang berlangsung diam-diam.
Beberapa pendamping menyebut uang tersebut sebagai bentuk apresiasi atas bantuan teknis dan pendampingan. Namun, ada kekhawatiran bahwa KPM merasa terpaksa atau takut tidak dilayani dengan baik jika tidak memberikan uang tersebut.
Menurut laporan dari berbagai sumber, pendamping PKH memiliki peran penting dalam memastikan bantuan tepat sasaran dan tepat waktu. Namun, pengumpulan kartu secara kolektif dan penerimaan uang terima kasih berisiko melanggar prinsip akuntabilitas dan integritas program.
Praktik ini juga berpotensi membuka celah bagi penyalahgunaan dana, pemotongan tidak sah, atau manipulasi data. Oleh karena itu, perlu ada pengawasan lebih ketat dari Dinas Sosial dan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pencairan bansos.
- Transparansi pencairan harus ditingkatkan, misalnya dengan melibatkan pihak ketiga atau sistem digital yang memungkinkan KPM memantau langsung saldo dan transaksi.
- Sosialisasi hak-hak KPM agar mereka memahami bahwa bantuan sosial adalah hak, bukan jasa yang harus dibayar.
- Penguatan etika pendamping PKH melalui pelatihan dan pengawasan berkala.
Jika praktik ini terus berlangsung tanpa kontrol, dikhawatirkan akan merusak kepercayaan publik terhadap program PKH yang sejatinya dirancang untuk mengentaskan kemiskinan secara berkelanjutan.
