
Investigasi Hukum Kriminal – ACEH – 6/10/2025 – Perang Dingin Sumatera: Antara Penegakan Hukum dan Etika Kepemimpinan
Ketegangan antar-daerah di Pulau Sumatera kian mencuat. Bukan lagi persoalan perbatasan atau sumber daya, melainkan soal pelat nomor kendaraan simbol kecil yang kini memantik perdebatan besar tentang etika pemerintahan, keadilan fiskal, dan batas kewenangan daerah.
Di satu sisi, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution tampil keras dengan kebijakan menghentikan truk berpelat “BL” asal Aceh yang melintas di wilayahnya. Di sisi lain, Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah atau Dek Fadh, justru memilih langkah yang berlawanan bukan dengan otot, tapi dengan hati.
Fakta Lapangan: Antara Penertiban dan Penyekapan Kewenangan
Dalam video viral yang diunggah akun @aceh.viral pada Senin (6/10/2025), tampak Wagub Aceh menghentikan sebuah truk besar berpelat “BA” dari Sumatera Barat. Namun yang terjadi bukanlah interogasi atau penegakan aturan kaku, melainkan dialog kemanusiaan.
“Hooo, BA pelatnya… Padang. Udah makan belum?” tanya Wagub dengan senyum.
“Belum,” jawab sopir singkat.
Seketika Dek Fadh merogoh sakunya, menyerahkan uang makan sambil bertanya,
“Aman kan di Aceh? Ada yang nyetop nggak?”
Sopir itu menjawab ringan,
“Nggak, aman.”
“Bagus. Makan ya,” tutup Dek Fadh, lalu memberi jalan.
Sebuah adegan sederhana namun sarat makna hukum dan moral: di tengah maraknya penegakan aturan daerah yang sering disalahartikan sebagai hak represif, seorang pejabat publik memilih jalur etika konstitusional dan moralitas publik.
Kacamata Hukum: Antara UU HKPD dan Asas Persatuan Wilayah
Kebijakan Gubernur Sumut yang melarang truk berpelat luar daerah beroperasi tanpa mutasi pajak memang mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).
Namun, secara yuridis dan konstitusional, langkah tersebut menimbulkan pertanyaan serius:
Apakah daerah berhak membatasi mobilitas ekonomi antardaerah dengan dalih pajak daerah?
Apakah tindakan menghentikan kendaraan luar daerah tanpa indikasi pelanggaran lalu lintas merupakan pelampauan kewenangan administratif?
Apakah semangat UU HKPD untuk memperkuat PAD justru diselewengkan menjadi alat isolasi fiskal antarprovinsi?
Dari perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), kebijakan seperti ini berpotensi melanggar prinsip proporsionalitas, non-diskriminasi, dan kepastian hukum.
Dek Fadh: Kepemimpinan Humanis Sebagai Kritik Konstitusional
Apa yang dilakukan Wagub Aceh Fadhlullah bukan sekadar aksi sosial spontan — melainkan kritik elegan terhadap arah kebijakan fiskal yang kehilangan empati sosial.
Dengan gestur sederhana memberi uang makan sopir truk luar daerah, Dek Fadh sedang mengembalikan makna konstitusional dari semangat “NKRI harga mati”: bahwa Indonesia adalah satu kesatuan ekonomi, sosial, dan moral, bukan sekat-sekat administratif yang kaku.
Warganet menyebut aksi ini sebagai “pengadilan etika di atas hukum yang beku” — dan mereka tak keliru. Di tengah era di mana aturan sering dijadikan tameng kepentingan daerah, muncul sosok pemimpin yang memahami bahwa “aturan tanpa nurani hanyalah alat kekuasaan.”
Analisis Investigatif: Ketika Pajak Daerah Menjadi Senjata Politik
Dari hasil penelusuran redaksi Investigasi Hukum Kriminal, kebijakan selektif terhadap pelat luar daerah ternyata berkaitan dengan strategi peningkatan PAD menjelang tahun fiskal 2026.
Namun, di lapangan, kebijakan itu justru menimbulkan gesekan antar-sopir, keresahan pengusaha transportasi lintas provinsi, dan potensi pelanggaran hak mobilitas ekonomi.
Bila dibiarkan, praktik ini dapat mengarah pada fragmentasi hukum antar-daerah di mana tiap gubernur merasa berhak menafsirkan undang-undang sesuai kepentingannya.
Sebuah preseden berbahaya bagi sistem hukum otonomi daerah di Indonesia.
Hukum, Etika, dan Nurani
Dalam dunia hukum yang sering kering dari empati, Dek Fadh menunjukkan bahwa keadilan tak selalu lahir dari palu sidang, tapi bisa dari tangan yang memberi.
Aksinya menjadi cermin kepemimpinan konstitusional, di mana hukum berjalan bersama moral publik, bukan melawannya.
Dan di tengah “perang dingin pelat nomor”, Aceh justru memberi pelajaran panas:
Bahwa hukum tanpa kemanusiaan hanyalah kekuasaan tanpa arah. (SR_A)