
Oleh Tim Investigasi — 18 Juni 2025
investigasihukumkriminal.com – Minggu dini hari, 15 Juni 2025, jalanan sepi di kawasan Loji, Sukabumi, menjadi saksi operasi senyap aparat Polair Korpolairud Baharkam Polri. Sebuah mobil Toyota Calya yang melaju tenang dihentikan secara mendadak. Tak banyak perlawanan. Namun, isi mobil itu mengungkap lebih dari sekadar pelanggaran administratif. Dua boks sterofoam dingin di bagasi menyimpan 11.543 ekor benih bening lobster (BBL)—komoditas laut bernilai tinggi yang selama ini menjadi incaran jaringan penyelundup lintas wilayah.
Dalam hitungan jam, dua orang tersangka, PN asal Lebak dan HM asal Cianjur, digiring ke markas. Nilai potensi kerugian negara diperkirakan mencapai Rp461 juta. Tetapi, benarkah hanya mereka berdua pelakunya?
Benih yang Mahal, Regulasi yang Longgar
Benih lobster, terutama jenis pasir dan mutiara, bisa dijual dengan harga hingga ratusan ribu rupiah per ekor di pasar gelap internasional. Negara-negara seperti Vietnam dan Tiongkok menjadi tujuan utama. Di sisi lain, regulasi yang berubah-ubah—terutama pasca revisi UU Perikanan dalam UU Cipta Kerja—menyisakan celah yang bisa dimanfaatkan mafia laut.
Data KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) mencatat bahwa penyelundupan BBL meningkat pasca pelonggaran ekspor benih pada tahun-tahun sebelumnya. Banyak pelaku adalah bagian dari jaringan lama yang kini bermain lebih rapi dan rapi, bahkan menggandeng oknum-oknum lokal.
Modus Lama, Pola Baru
“Kasus ini tidak berdiri sendiri,” ujar seorang sumber internal Polairud Menurutnya, kendaraan yang ditangkap di Sukabumi adalah bagian dari jalur darat yang digunakan untuk membawa benih dari wilayah pesisir selatan ke titik pengiriman, biasanya ke Banten atau Batam.
Lebih jauh, terdapat indikasi bahwa pelaku lapangan hanyalah kurir. “Bahkan mereka tidak tahu harga benih yang mereka bawa. Mereka dibayar per ritase. Inilah yang membuat jaringan ini sulit diputus,” tambah sumber tersebut.
Jejak Transaksi Digital
Salah satu barang bukti yang disita adalah ponsel Oppo A54 milik tersangka HM. Dari penelusuran awal, ditemukan percakapan dan transfer dana yang mengarah pada akun-akun virtual yang kerap digunakan dalam transaksi gelap. Investigasi lebih lanjut sedang dilakukan bersama unit siber Mabes Polri.
“Banyak transaksi dilakukan via aplikasi pesan terenkripsi, dan dana masuk lewat rekening-rekening tidak aktif yang dibuka menggunakan identitas fiktif,” ungkap seorang penyidik.
Kerusakan Ekosistem yang Tak Terlihat
Penyelundupan benih lobster bukan sekadar persoalan ekonomi, tetapi juga ancaman terhadap keberlanjutan ekosistem laut. Benih yang diambil dari alam dan tidak melalui proses budidaya di dalam negeri menghambat regenerasi spesies di wilayah perairan Indonesia.
Menurut data KKP, tingkat kelangsungan hidup benih lobster di alam setelah dilepasliarkan hanya sekitar 10-20 persen. Artinya, setiap kali terjadi penyelundupan, kerusakan ekologis yang dihasilkan bisa jadi tak terhitung.
Kesimpulan: Siapa Di Balik Ini Semua?
Kasus Sukabumi adalah satu dari banyak titik pada peta besar penyelundupan BBL nasional. Polri menyatakan komitmennya untuk menindak tegas pelaku. Namun, pertanyaan besarnya tetap menggantung: siapa dalang utamanya? Sejauh mana jaringannya menjangkau aparat, pelabuhan, bahkan dinas perizinan?
Sampai sistem pengawasan laut diperkuat, dan penegakan hukum menyentuh aktor intelektual di balik layar, penyelundupan benih lobster akan terus menjadi luka menganga dalam tubuh pengelolaan kelautan Indonesia.