Tanah Leluhur Terancam: Warga Sukamulya Lawan Klaim TNI-AU

Cianjur, investigasihukumkriminal — Ribuan langkah telah ditempuh demi satu tujuan: keadilan atas tanah yang telah lama menjadi ruang hidup warga Desa Sukamulya. Pada tanggal 9 Juli 2025, Gerakan Masyarakat Sukamulya Rumpin (GEMA SR) resmi menggulirkan aksi Longmarch dari Kecamatan Rumpin menuju Kantor Gubernur Jawa Barat di Bandung. Langkah kaki ini bukan sekadar simbol, melainkan jeritan panjang atas konflik agraria yang telah berlangsung hampir dua dekade.

Konflik bermula tahun 2006, saat TNI Angkatan Udara Lanud Atang Sanjaya (ATS) mengklaim kepemilikan atas 1.000 hektare lahan yang mencakup 17 kampung dan dihuni lebih dari 12.000 jiwa. Klaim tersebut mengacu pada catatan tanah era pendudukan Jepang—namun bertolak belakang dengan sejarah kepemilikan warga yang telah tinggal di sana secara turun temurun.

Puncak eskalasi terjadi pada 22 Januari 2007, ketika bentrokan fisik antara warga dan aparat TNI-AU ATS menimbulkan korban luka—baik dari pukulan maupun tembakan. Malam itu, sweeping dilakukan di beberapa kampung, meninggalkan trauma mendalam yang masih membekas hingga kini.

Pada tahun 2012, verifikasi lahan dilakukan oleh berbagai unsur pemerintah dan militer. Hasilnya menyebutkan TNI-AU ATS hanya berhak atas sekitar 75 hektare. Namun, kesepakatan tersebut justru diabaikan oleh pihak militer, yang di tahun 2019 mulai memasang plang “Tanah Negara” di atas tanah milik warga bersertifikat, bahkan menyomasi sekolah dan lembaga pendidikan setempat.

Tahun 2023 menjadi titik rawan baru, saat uji coba drone dan latihan tembak dilakukan di lingkungan warga, kembali membangkitkan trauma lama. Warga pun semakin lantang menolak Desa Sukamulya menjadi “Rempang Kedua.”

Surat audiensi yang diajukan ke Pemprov Jawa Barat pada April 2025 belum mendapat tanggapan. Maka, warga bersatu di bawah bendera GEMA SR, menapaki jalan sejauh puluhan kilometer, menyampaikan langsung aspirasi mereka ke Gubernur Jawa Barat.

Warga Desa Sukamulya menaruh harapan penuh pada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk memediasi dan menyelesaikan konflik yang merampas ruang hidup mereka. “Kami bukan melawan, kami bertahan,” ujar salah satu tokoh masyarakat. GEMA SR adalah simbol perlawanan yang mengakar, tumbuh dari tanah yang ingin mereka lindungi.