Investigasihukumkriminal.com – Sangatta- 17/09/ 2024 Memasuki sidang ke (dua) perkara pidana terdakwa H. Bahrani, dalam agenda nota keberatan (eksepsi) dari terdakwa, atas Dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) pada sidang sebelumnya di Pengadilan Negeri (PN) Sangatta, Selasa (10/9/2024)

Bahwa sebelumnya Jaksa Penuntut Umum  menghadapkan  terdakwa  tersebut   dengan  dakwaan pelanggaran  sebagaimana dimaksud  Pasal 162 UURI Nomor 4 tahun 2009 tentang  Pertambangan,  yang mana   dalam  penerapan pasal tersebut  mensyaratkan unsur menyelesaikan hak atas tanah, sementara perkara aquo hak atas tanah milik Terdakwa belum diselesaikan dan masih dalam sengketa perdata dan  sedang bergulir di Pengadilan Negeri Sangatta dengan Register Perkara Nomor : 42/Pdt.G/2024/PN.Sgt, sengketa antara H.BAHRANI alias ITING ( selaku Penggugat ) dengan PT Kaltim Prima Coal ( selaku Tergugat).

Lebih lanjut disampaikan perihal syarat pemidanaan Pasal 162 jo Pasal 136 UURI Nomor 4 tahun 2009 adalah unsur menyelesaikan hak atas tanah, sedang Hak kepemilikan tanah masih dalam sengketa Perdata di Pengadilan Negeri Sangatta dengan Register Perkara Nomor: 42/Pdt.G/2024/PN.Sgt. sehingga untuk dapat seseorang dipersangkakan / didakwa dengan pasal tersebut haruslah dibuktikan pihak korban telah menyelesaikan hak atas tanah  berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Eksepsi yang disampaikan menurutnya ada hal yang sangat fundamental untuk dapat diketahui Majelis Hakim dan saudara Jaksa Penuntut Umum demi tegaknya keadilan sebagaimana semboyan yang selalu kita junjung bersama selaku penegak hukum yakni Fiat Justitia Ruat Caelum.

Disisi lain kuasa hukum H. Bahrani H.NAINURISUHADI, S.H.,M.Hum. Menyampaikan juga dalam eksepsi bahwa dalam perkara ini diduga kuat telah terjadi  pelanggaran Hak Azasi manusia serta tidak terpenuhinya syarat formil berupa tidak pernah memberikan SPDP dalam proses penyidikan perkara a quo sejak terbitnya  surat Perintah Penyidikan, dalam hal ini kami selaku kuasa hukum begitupun terdakwa tidak pernah diberikan Surat Pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari penyidik maupun penyidik pembantu

Bahwa sebagaimana diketahui ketentuan dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut untuk memberikan SPDP kepada Terlapor/Tersangka adalah syarat formil dalam proses acara pidana akan tetapi tidak masuk dalam ranah Pra Peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 KUHAP), oleh karenanya syarat formil seorang penyidik/penyidik pembantu bila tidak di penuhi sehigga penyidikan cacat formil  , penyidikan yang cacat formil  menjadikan penyidikan batal demi hukum/ dapat dibatalkan, oleh karenaya kami ajukan keberatan  hal tersebut ke dalam Nota keberatan ( eksepsi ).

Sehingga menurut kami dengan tidak memberikan  Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan kepada Terlapor/Tersangka atau memberikan tapi lewat 7 hari dari tanggal terbitnya Surat Perintah Penyidikan maka Penyidikan perkara aquo batal demi hukum (Vide Putusan Mahkamah Konstisutsi Nomor :130/PUU-XIII/2015 tentang SPDP juncto Pasal 109 KUHAP), dengan demikian Dakwaan haruslah batal demi hukum.

Selain alasan diatas kuasa hukum terdakwa juga menyinggung kompetensi penyidik yang diduga belum memiliki ijazah Penyidikan Reserse dan Sertifikasi Penyidikan hal tersebut menurutnya melanggar Pasal 6, Pasal 10, UURI Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP juncto Pasal 2A dan Pasal 3A Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 

Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010 sudah berlaku lebih dari 20 (dua puluh) tahun dan Ijazah Penyidikan Reserse dan Sertifikasi Penyidikan adalah syarat untuk bisa di angkat menjadi Penyidik/Penyidik Pembantu, Vide Pasal 6, Pasal 10 UURI Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP Junto Pasal 2A , Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2010, penyidik/Penyidik Pembantu yang tidak memenuhi syarat perundang undangan adalah anggota polri biasa, dengan kata lain anggota Polri yang tidak memilik legal standing sebagai penyidik/penyidik pembantu, sehingga dalam penyidikan perkara a quo tersebut  hasil penyidikanya tidak syah dan tidak berdasarkan hukum (Vide Pasal 17 jo Pasal 18 UURI Nomor:39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia),

Bahwa legal standing Penyidik dan Penyidik Pembantu sangat penting dalam proses pidana hal ini untuk menunjukan profesionalitas penyidik /penyidik pembantu yang mampu memperhatikan hak-hak Terlapor/ tersangka/Terdakwa, hingga terjaminya Hak-hak Azasi Manusia, dan kebenaran material dan unsur unsur perbuatan pidananya tepat dan terjamin kebenaran materialnya oleh seorang penyidik yang profesional berdasarkan undang undang

Maka dalam hal ini apabila terbukti Penyidik tidak dapat menunjukan Ijazah Pendidikan Reserse dan Sertifikasi Penyidikan   maka  perkara ini   haruslah dinyatakan  penyidikan perkara  a quo  dilakukan  oleh  pihak  yang   tidak memiliki  legal standing / tidak berwenang  melakukan  penyidikan, sehingga Perkara a quo haruslah dinyatakan Penyidikan  perkara a quo  cacat  formal,  karena berkas perkara  cacat formal maka surat dakwaan  cacat  formal   oleh karena  surat dakwaan  berdasarkan berkas perkara  yang cacat formal maka  surat dakwaan a quo  cacat  formal   sehingga surat dakwaan a quo  haruslah digugurkan dan tidak dapat di lanjutkan pemeriksaan perkara di persidangan berikutnya Pungkasnya .

Oleh karena tidak profesional dalam penyidikan maka terkesan ada yang  janggal mulai dari surat administrasi penanggalan surat, kami menemukan ada  yang salah, tidak mungkin SPDP duluan dari pada Laporan Polisi, atau Surat  Perintah Penyidikan, harusnya Laporan Polisi Dulu, baru Surat Perintah Penyidikan baru SPDP selain itu kami juga mempertanyakan legal standing pelapor  bahwa pelapor bukanlah  direktur dan legal PT. KPC sampai saat ini pun pihaknya belum dapat menunjukan surat kuasa resmi dari PT.KPC  perihal laporan terhadap klien kami belum lagi berdasarkan resume penyidikan dari ke 7 (tujuh) orang yang telah ditetapkan tersangka hanya H. Bahrani klien kami saja yang dihadirkan

Kuasa hukum terdakwa menambahkan Bahwa sebagaimana diketahui dalam penerapan Pasal 162 UURI Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja  juncto Pasal 86 F Pemegang SIPB wajib: a. menerapkan kaidah Pertambangan yang baik; b. menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan c. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan SIPB kepada Menteri, dan Pasal 136 ayat (2)  menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan c. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan SIPB kepada Menteri.

Bahwa dalam perkara a quo Pihak PT. KPC (Pelapor)  hingga kini belum pernah menyelesaikan hak atas tanah  dengan pemegang hak  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Atau pelapor sengaja membayar / membebaskan lokasi kepada orang yang tidak berhak dengan itikat buruk menghilangkan / tidak mengakui adanya lokasi yang menjadi hak terdakwa.

Sedangkan terdakwa adalah memiliki hak atas tanah tersebut dibuktikan dengan penggarapan di lokasi terdapat tanam tumbuh dan bahkan rumah-rumah pondok serta berbagai dokumen, sedangkan berbagai dokument kepemilikan hak atas tanah sehingga terdakwa berusaha menghentikan kegiatan pertambangan yang memang lokasi miliknya belum diselesaikan haknya adalah semata-mata mempertahankan hak, bukan merintangi , mengganggu dan lain sebagainya sebagaimana dalam dakwaan saudara Jaksa Penuntut Umum

Dalam hal ini maka Penuntut Umum selaku penyusun Surat Dakwaan harus mengetahui dan memahami benar kronologi peristiwa yang menjadi fakta hukum dalam dakwaan, apakah sudah cukup berdasar untuk dapat dilanjutkan ke tahap sidang pengadilan ataukah fakta tersebut tidak seharusnya diteruskan karena memang secara materiil bukan merupakan tindak pidana. Salah satu fungsi hukum adalah menjamin agar tugas Negara untuk menjamin kesejahteraan rakyat bisa terlaksana dengan baik dan mewujudkan keadilan yang seadil adilnya dan hukum menjadi panglima untuk mewujudkan sebuah kebenaran dan keadilan. tutupnya. (Reg_Kaltim_ Mirzak)

By Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *